De Facto: May 26, 2018


Do you know the hard truth that you have to live with?

It's the fact that sometimes life pushes you to see the reality and learn the hard way.


Gue kira gue bangun jam 8 pas pagi hari ini cuma sekadar kebiasaan gue kalau malamnya gue kebanyakan tidur, alias nggak produktif. Ternyata, it's a sign. Agenda gue hari ini (26 Mei) idealnya adalah seperti ini: FGD sampai jam 11 di Perpusat UI, datengin vendor sampai jam 2, belajar sampai jam 4, kemudian bukber sampai jam 8.

Idealnya.

Eksekusinya nggak begitu.

Kenyataannya adalah gue FGD sampai jam 12, ngobrol cantik sampai jam 1, ngaso di musholla sampai jam 4, nunggu duduk buat bukber sampe jam setengah 7, bukber sampai jam 8, dan nunggu fotokopian sampai jam setengah 9.

Nggak jauh sih. Tapi ternyata, hasil yang gue dapet jauh dari ekspektasi. Jauh lebih valuable dibanding apa yang gue perkirakan. Seperti kata rekan jalan gue hari ini (saya ucapkan terima kasih kepada Nurdela Ardiansyah yang mau menunggu tempat duduk di PH sampai jam setengah 7 dari jam setengah 6 sore), gue belajar banyak nilai moral hari ini.

Semuanya berawal dari sesi FGD yang gue lakukan untuk sebuah seleksi organisasi kemahasiswaan regional. Topiknya keren: gimana caranya kita maksimalin penduduk usia produktif kita? Lewat sektor apa? Gimana?

Oke, let's talk dirty.

Sebagai mahasiswa, akan gampang untuk bicara dan angkat pendapat secara teoritis, apalagi di atas kertas. Tapi ternyata, malamnya gue digampar kenyataan keras-keras. Seakan-akan hidup bilang: "Cuy, jangan ngomong doang. Sini gua kasih kenyataannya kayak gini."

Gue dengan pedenya bilang sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi adalah sektor yang penting untuk dikelola dengan sebaik-baiknya agar Indonesia bisa memaksimalkan windows of opportunity yang ada.

Kesimpulan dari FGD adalah semuanya mengerucut pada pendidikan yang mengakibatkan berubahnya pola pikir. Gampang kan? Iyalah, teori doang. Lu keluar ruangan, pikiran tadi udah lu tinggalin, lu akan balik ke rutinitas lu dan semua omongan lu tadi tinggal angin sepoi-sepoi yang nggak berarti. Nggak ada kelanjutannya.

Sialnya, malam setelah bukber gue dihajar kenyataan.

Dikarenakan vendor cetakan langganan gue tutup, dengan amat sangat terpaksa gue harus pindah vendor. Mengingat dan mempertimbangkan juga bahwa gue butuh banget dan printer gue lagi ngaco parah. As soon as gue masuk dan bilang apa yang mau gue cetak, gue dialihkan ke salah satu mas-mas operator.

Ekspektasi gue tinggi sih.

(Tolong jangan pernah bandingkan dengan Sn*py yang stafnya super cepat tapi harganya super tidak mahasiswa-wi.)

Ternyata ekspektasi gue jatuh ke lantai dasar dan hancur berantakan. Alur kerja operatornya cukup bikin gue agak pissed off, gue bahkan berani jamin kalau gue dikasih tau mekanismenya, gue akan kerja lebih cepat dan lebih efisien. Dugaan gue, hal ini juga diperparah dengan fakta bahwa koneksi antara printer dan komputernya tidak stabil jadi rentan keputus dan bikin cetakannya keulang lagi.

Ya sudahlah.

Ini hard truth-nya.

Indonesia harus maksimalin tenaga usia produktifnya, tapi kemampuan untuk memenuhi tugas sederhana aja masih belum memuaskan. Gue di UI ngoceh tentang program belajar dan pemerataan pendidikan, sementara gue nggak ngelakuin apa-apa.

Despite the fact yang menunjukkan bahwa performa tenaga usia produktif yang berperan sebagai mas-mas operator tadi mengecewakan, gue akan memberikan justifikasi bahwa gue masih membantu dia dengan delegasi tugasnya. Si masnya nggak usah ngecek lagi cetakannya, gue suruh dia fokus urusin pembayaran.

I went out with a deep breath and owed an explanation to Dela kenapa cetakannya bisa lama banget. Gue jelaskan bahwa alur kerja si masnya seperti apa dan dia bisa improve dengan ngapain. Di sinilah sebenarnya gue merasa pentingnya keberadaan sarana untuk customer bisa mengajukan kritik dan saran. Continuous improvement is highly important for business if they want to survive--that's just my two cents.

Pelajaran lain lagi yang gue dapat hari ini adalah kesabaran itu selalu berujung indah. Gue belajar ini dua kali, hari ini dan dulu ketika masih cari internship untuk Juni-Agustus 2018. 30 lebih lamaran dan I still believe I would land one. I would get an offering letter. I managed to get it through patience, resilience, and persistence despite the nights when I cried and I lost my hope. (Lebay gak? Iyalah.)

Ternyata gue diuji lagi.

Cueknya gue berangkat jam 4 dari Fasilkom ke Margo City dan skipnya gue kalau gue nggak inget kalau 26 Mei 2018 adalah hari Sabtu, perdana setelah gajian ternyata membuat gue terjebak di 20an antrian duduk Pizza Hut. Tuhan, itu mal lebih mirip Pasar Tanah Abang dibandingkan mal besar kenamaan. Semua koridor penuh, bahkan sampai orang pun duduk lesehan di sisi koridor.

Antrian Pizza Hut malah membludak sampai 50/60an antrian. Beruntung gue masih berkeputusan tinggal dan tetap nunggu, walaupun banyak waktu yang kebuang. Sejujurnya sih ya, nggak kebuang banget. Gue jadi belajar bahwa masalah starvation di sistem scheduling yang gue pelajari di matkul Sistem Operasi itu benar ada walaupun sudah pake mekanisme shortest-job-first (SJF).

Gue menunggu sampai 18.30 sambil senyum-senyum ke mbaknya, nyemangatin mbaknya, dan juga sambil ngikutin sudah sampai mana antriannya. Kesabaran itu berbuah manis, entah gimana mbaknya tiba-tiba nyuruh gue dan Dela isi satu meja padahal gue lihat masih ada yang nunggu sebelum gue.

I felt terribly blessed.

Moral value yang bisa diambil dari sini mungkin klise (ya sejak kapan sih kata-kata bijak nggak terdengar klise), but you might have to hear a little. 

Number one, treat a waiter/waitress the same way you will treat the CEO. Gue harus akui kerja mereka berat dan melelahkan. Bekerja di service industry itu sulit. Semua elemennya dituntut harus customer-oriented. Hal ini terlihat dari kebijakan pemanggilan antrian yang berubah selama berjalannya antrian, awalnya yang namanya sudah lewat akan dicoret, ternyata malah bisa masuk lagi tapi harus tunggu beberapa antrian baru masuk. Mereka sendiri menjalankan kebijakan seperti itu juga dengan mengorbankan kenyamanan buka puasa mereka. So please, treat them well.

Number two, observe the situation you're in. Situasi hectic saat antrian menumpuk membuat frontliner memakai kalimat template: "Iya nanti balik lagi aja ya mbak/mas, jam setengah 7." Kenyataannya adalah, dengan bertambahnya antrian, acuan waktu yang digunakan nggak berubah. Dari situ gue tahu, mereka nggak forecast estimasi waktu tunggu kalau antriannya sudah segitu waktu tunggunya akan berapa lama. Gue simpulkan: ini mesti, wajib banget gue awasin.

Kenapa? 

It's for the slim chance gue bisa duduk sebelum jam setengah 7 malam. Alhamdulillahnya, gue dan Dela berhasil duduk tepat pada jam setengah 7 waktu jam tangan gue. (FYI, jam tangan gue bisa aja kecepetan 2-3 menit).

Number three, be patient. Bukan berarti dengan panjangnya daftar antrian, kita langsung pasrah. Kita sempat coba lihat ke Solaria dan Marugame Udon but the results were identical: full table. Sebagai sedikit perbandingan, antrian di Marugame jauh lebih organized karena flow-nya sendiri juga sudah ter-construct dengan baik.

Number four, say thank you-please-sorry. Itu cara termudah menghargai orang. It requires no talent yet it brings a lasting impression. Mudah kok, cuma membiasakannya aja yang sulit.

Number five, control your emotion. Admit it, siapa sih yang nggak bete lihat antrian yang panjang dan orang yang kerjanya kurang cekatan? Dibandingkan membuat kondisi semakin parah, lo bisa membuat kondisinya semakin baik dengan memberikan feedback yang konstruktif atau seenggaknya nyaman didengar. 

Sejauh ini, gue baru kepikiran lima ini. To be honest, gue bersyukur bisa mengalami ini, karena belajar tak selalu harus di kelas, ya kan?

// end note

Terimakasih kepada tim FGD yang kooperatif dan keren, juga kepada mbak-mbak frontliner Pizza Hut, dan rekan-rekan lain yang tidak disebutkan di sini namun bermain peran di hari ini :)

// end of end note... what?

Love,

99WRITES 


You Might Also Like

0 comments