Do you know the hard truth that you have to live with?
It's the fact that sometimes life pushes you to see the
reality and learn the hard way.
Gue kira gue bangun jam 8 pas pagi hari ini cuma sekadar
kebiasaan gue kalau malamnya gue kebanyakan tidur, alias nggak produktif.
Ternyata, it's a sign. Agenda gue hari ini (26 Mei) idealnya adalah
seperti ini: FGD sampai jam 11 di Perpusat UI, datengin vendor sampai jam 2,
belajar sampai jam 4, kemudian bukber sampai jam 8.
Idealnya.
Eksekusinya nggak begitu.
Kenyataannya adalah gue FGD sampai jam 12, ngobrol cantik
sampai jam 1, ngaso di musholla sampai jam 4, nunggu duduk buat bukber sampe
jam setengah 7, bukber sampai jam 8, dan nunggu fotokopian sampai jam setengah
9.
Nggak jauh sih. Tapi ternyata, hasil yang gue dapet jauh
dari ekspektasi. Jauh lebih valuable dibanding apa yang gue perkirakan.
Seperti kata rekan jalan gue hari ini (saya ucapkan terima kasih kepada Nurdela
Ardiansyah yang mau menunggu tempat duduk di PH sampai jam setengah 7 dari jam setengah
6 sore), gue belajar banyak nilai moral hari ini.
Semuanya berawal dari sesi FGD yang gue lakukan untuk sebuah
seleksi organisasi kemahasiswaan regional. Topiknya keren: gimana caranya kita
maksimalin penduduk usia produktif kita? Lewat sektor apa? Gimana?
Oke, let's talk dirty.
Sebagai mahasiswa, akan gampang untuk bicara dan angkat
pendapat secara teoritis, apalagi di atas kertas. Tapi ternyata, malamnya gue
digampar kenyataan keras-keras. Seakan-akan hidup bilang: "Cuy, jangan ngomong
doang. Sini gua kasih kenyataannya kayak gini."
Gue dengan pedenya bilang sektor pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi adalah sektor yang penting untuk dikelola dengan sebaik-baiknya agar
Indonesia bisa memaksimalkan windows of opportunity yang ada.
Kesimpulan dari FGD adalah semuanya mengerucut pada pendidikan
yang mengakibatkan berubahnya pola pikir. Gampang kan? Iyalah, teori doang. Lu
keluar ruangan, pikiran tadi udah lu tinggalin, lu akan balik ke rutinitas lu
dan semua omongan lu tadi tinggal angin sepoi-sepoi yang nggak berarti. Nggak
ada kelanjutannya.
Sialnya, malam setelah bukber gue dihajar kenyataan.
Dikarenakan vendor cetakan langganan gue tutup, dengan amat
sangat terpaksa gue harus pindah vendor. Mengingat dan mempertimbangkan juga
bahwa gue butuh banget dan printer gue lagi ngaco parah. As soon as gue
masuk dan bilang apa yang mau gue cetak, gue dialihkan ke salah satu mas-mas operator.
Ekspektasi gue tinggi sih.
(Tolong jangan pernah bandingkan dengan Sn*py yang stafnya
super cepat tapi harganya super tidak mahasiswa-wi.)
Ternyata ekspektasi gue jatuh ke lantai dasar dan hancur
berantakan. Alur kerja operatornya cukup bikin gue agak pissed off, gue
bahkan berani jamin kalau gue dikasih tau mekanismenya, gue akan kerja lebih
cepat dan lebih efisien. Dugaan gue, hal ini juga diperparah dengan fakta bahwa
koneksi antara printer dan komputernya tidak stabil jadi rentan keputus
dan bikin cetakannya keulang lagi.
Ya sudahlah.
Ini hard truth-nya.
Indonesia harus maksimalin tenaga usia produktifnya, tapi
kemampuan untuk memenuhi tugas sederhana aja masih belum memuaskan. Gue di UI
ngoceh tentang program belajar dan pemerataan pendidikan, sementara gue nggak
ngelakuin apa-apa.
Despite the fact yang menunjukkan bahwa performa tenaga
usia produktif yang berperan sebagai mas-mas operator tadi mengecewakan, gue
akan memberikan justifikasi bahwa gue masih membantu dia dengan delegasi
tugasnya. Si masnya nggak usah ngecek lagi cetakannya, gue suruh dia fokus
urusin pembayaran.
I went out with a deep breath and owed an explanation to
Dela kenapa cetakannya bisa lama banget. Gue jelaskan bahwa alur kerja si
masnya seperti apa dan dia bisa improve dengan ngapain. Di sinilah
sebenarnya gue merasa pentingnya keberadaan sarana untuk customer bisa
mengajukan kritik dan saran. Continuous improvement is highly important for
business if they want to survive--that's just my two cents.
Pelajaran lain lagi yang gue dapat hari ini adalah kesabaran
itu selalu berujung indah. Gue belajar ini dua kali, hari ini dan dulu ketika
masih cari internship untuk Juni-Agustus 2018. 30 lebih lamaran dan I
still believe I would land one. I would get an offering letter. I managed to
get it through patience, resilience, and persistence despite the nights when I cried
and I lost my hope. (Lebay gak? Iyalah.)
Ternyata gue diuji lagi.
Cueknya gue berangkat jam 4 dari Fasilkom ke Margo City dan
skipnya gue kalau gue nggak inget kalau 26 Mei 2018 adalah hari Sabtu, perdana
setelah gajian ternyata membuat gue terjebak di 20an antrian duduk Pizza Hut. Tuhan,
itu mal lebih mirip Pasar Tanah Abang dibandingkan mal besar kenamaan. Semua
koridor penuh, bahkan sampai orang pun duduk lesehan di sisi koridor.
Antrian Pizza Hut malah membludak sampai 50/60an antrian.
Beruntung gue masih berkeputusan tinggal dan tetap nunggu, walaupun banyak
waktu yang kebuang. Sejujurnya sih ya, nggak kebuang banget. Gue jadi belajar
bahwa masalah starvation di sistem scheduling yang gue pelajari
di matkul Sistem Operasi itu benar ada walaupun sudah pake mekanisme shortest-job-first
(SJF).
Gue menunggu sampai 18.30 sambil senyum-senyum ke mbaknya, nyemangatin
mbaknya, dan juga sambil ngikutin sudah sampai mana antriannya. Kesabaran itu
berbuah manis, entah gimana mbaknya tiba-tiba nyuruh gue dan Dela isi satu meja
padahal gue lihat masih ada yang nunggu sebelum gue.
I felt terribly blessed.
Number five, control your emotion. Admit it, siapa sih yang nggak bete lihat antrian yang panjang dan orang yang kerjanya kurang cekatan? Dibandingkan membuat kondisi semakin parah, lo bisa membuat kondisinya semakin baik dengan memberikan feedback yang konstruktif atau seenggaknya nyaman didengar.
// end note
Terimakasih kepada tim FGD yang kooperatif dan keren, juga kepada mbak-mbak frontliner Pizza Hut, dan rekan-rekan lain yang tidak disebutkan di sini namun bermain peran di hari ini :)
// end of end note... what?
0 comments