De Facto: 19-24 April 2017, History Repeats Itself

Halo!

Introducing a new member of the family, adding more diversity to 99WRITES content... DE FACTO!

Kenapa harus namanya De Facto?

Well, to be honest, gue suka sejarah. Dan dalam sejarah, ada istilah de facto, yang kalo katanya Wikipedia...

De facto (/d ˈfækt/), Latin for "in fact", describes practices that exist in reality, even if not legally authorized.[1][2][3] It is commonly used to refer to what happens in practice, in contrast with de jure ("in law"), which refers to things that happen according to law. Unofficial customs that are widely accepted are sometimes called the de facto standard.

...dan ini berarti De Facto akan berisi hal yang mostly happens in my reality, my life, my history.

Kenapa kok sejarah? Kan ngafal?

DISCLAIMER: Penjelasannya akan sangat panjang, melebar ke mana-mana, long post alert, jadi kalau nggak suka baca long post, you can leave, it's okay.


Faktor yang berkontribusi penting pada hal ini mungkin apa yang gue lakukan dari kecil dan guru-guru yang sudah berbagi ilmunya tentang sejarah.

Dari kecil, buku sudah jadi mainan akrab untuk gue. Buku sejarah dapat dengan mudah diakses, majalah apalagi. Di lemari gue, masih ada 1 seri lengkap tentang Bung Karno yang dikemas dalam buku cerita anak-anak yang nggak terlalu tebal. Gue juga masih ingat dengan liburan gue waktu kecil, gue pernah suka banget ke Museum Satria Mandala. Nggak tau lagi harus bilang terima kasih sebesar apa untuk orang tua gue yang sudah mendidik gue untuk banyak baca and keep reminding me that education is important. Thank you so much. So. Much. Sincere love for you! <3

Mengenai guru, I'm gonna tell you an interesting story about one of them, yaitu guru Sejarah SMA gue.

Guru SMA gue yang bener-bener dekat sama murid-murid yang diajarnya, sampe ke sosmed-sosmed segala (we're friends in Path), adalah guru yang membukakan jalan gue menuju my first experience to be the third winner. Gue, yang nggak pernah menang lomba apapun sampai kelas 11 SMA bulan Desember 2014, tiba-tiba dipanggil dia walaupun gue saat itu ujian Fisika, thankfully I already submitted the test so I don't need to worry. Mukanya agak panik, turns out dia lagi nyari orang untuk lomba di Museum Joang '45 (here's the Google Maps link), lombanya adalah tipikal cerdas cermat. Oke, gue terima. Persiapannya apa?

"Kak, lo udah belajar belum?"

Adik kelas yang juga ikut lomba itu, nanya ke gue, waktu tim SMA gue nyampe lokasi dengan cara miris--naik kereta, jalan kaki dari stasiun, nyampe pun baju basah dan keringetan, padahal SMA lain dianterin pakai mobil ber-AC. Gue menggeleng dan ngelanjutin sarapan, sambil nawarin, ada nggak yang mau saos ekstra yang gue bawa. I didn't really hope to win, gue cuma seneng aja waktu katanya lokasinya di museum. Mau jalan-jalan. Mau sekali-kali cabut kelas dengan cara elit, yaitu surat bertandatangan kepala sekolah yang berisikan nama peserta lomba yang suka typo kadang-kadang. Jarang-jarang kan?

Sampai di lombanya, jujur sejujur-jujurnya, gue suka banget sama format lombanya, walaupun tempatnya nggak terlalu nyaman. Dikasih papan triplek kecil, tulis jawaban kamu di sana, angkat jawabanmu. Jawaban kamu salah? Goodbye, selamat jadi penonton. I survived. Sampai di final, tersisa 3 dari 30an orang kalo nggak salah... two of them are my high school friend and me. Akhirnya, temen gue itu jadi juara 1, gue jadi juara 3.

Lessons learned: kamu nggak akan pernah jadi juara kalau kamu nggak punya mental juara. 

Kenapa? Karena sebelum gue menang, years before that, gue bukan orang yang suka berkompetisi, bukan orang yang tahu cara ngatur strategi. I was careless. Ada titik balik di hidup gue yang mengubah gue menjadi orang yang lebih baik dan nggak perlu dijelasin di sini karena post ini udah ngelantur ke mana-mana. Better self for better achievements.

Lucunya, tiga tahun kemudian, April 2017, pertanyaan di sebuah interview membawa gue kembali ke dalam hal ini.

"Kamu punya hal yang nggak kamu tulis di CV?"

Gue harus mengakui, ada. Lagian, sebagai computer science student, masa iya kamu mau majang bahwa kamu finalis OSN IPS (bukan Komputer) dan menang lomba yang juga lomba IPS (lagi-lagi nggak ada hubungannya)? Apa hubungannya, mbak?

Ternyata kesukaan gue tentang sejarah nggak terlupakan begitu saja. Paling nggak, gue belajar untuk berpikir atas dasar data (tanggal, waktu, tempat) dan terstruktur (kronologi kejadian). Di mata kuliah Aljabar Linier (ya Allah semoga gue lulus matkul ini HAHA!) gue juga diingatkan dengan hal yang sama.

Apa tujuannya gue belajar Matematika?

Ya untuk berpikir runtut, sistematis, terstruktur.

Sama halnya dengan gue tadinya sebal dengan object-oriented programming di Java yang nggak tanggung-tanggung, banyak prinsipnya. Tapi setelah Lab 7, keribetan itu membawa hikmah. Walaupun submit-nya telat 56 menit, tapi gue ngoding dengan bantuan clue dari Ivan tentang attribute dan class apa aja yang harus dibikin, dan setelah 3 jam melakukan mini-hackathon, kodingan gue cuma ada masalah di logic-nya! Dan satu lagi, bug-nya sangat minor, hal yang bikin gue bersyukur.

Inti dari tulisan panjang ini adalah, kadang-kadang ada pengulangan dalam hidup kita. Suka atau nggak, sejarah itu berulang. Makanya, belajar dari pengalaman--sejarah kita sendiri--itu hukumnya wajib. Mau sampai kapan hanya melakukan tanpa belajar?

Love,

99WRITES

You Might Also Like

0 comments