Shared Thoughts: Indebted

Halo!

Sore ini gue memutuskan untuk menulis, sedikit aja. And why it's about debt? Do I have a terrible amount of debt? Well, let's see.



Quote di atas bakal gue pakai nggak dalam konteks romantis ya, apalagi cinta-cintaan. (Lho itu kan sama mbak) Intinya, love yang gue pakai di sini adalah love others, mencintai sesama. In terms of being kind to other people.

Now, let me tell you a story.

Sepulang dari kampus, malam kemarin, alhamdulillah gue cepet dapet driver untuk pulang ke rumah. Nah sebelum pulang, orang rumah telepon ternyata minta dibawain makanan. Jadilah setelah gue turun di Tebet, gue mampir di tempat gue beli makanan. Itu dalam kondisi gue udah naik ojek online dan gue bilang sebelumnya bahwa gue akan mampir di suatu tempat dulu untuk beli sesuatu.

Pas nyampe, alhamdulillah nggak begitu rame, dan untuk ukuran makanan yang gue beli, itu lumayan cepet dan nggak ngantri. Cuma yah, namanya juga martabak, apalagi martabak asin, ngegorengnya aja lama, sampe muka mas-masnya bosen ngeliat penggorengan dan nyiram-nyiram minyaknya. Selesai urusan dengan tukang martabak, gue kembali ke si bapak driver-nya dan dia bilang bahwa tadi istrinya telepon dia, bilang anaknya sakit tampek (in other words, campak, sejenis penyakit yang ditandai dengan adanya ruam kemerahan, biasanya suka dibarengin sama naiknya suhu tubuh) dan nangis, alhamdulillah katanya udah mendingan.

Kata-kata si bapak ini bikin gue teringat beberapa tahun yang lalu, udah lama banget sekitar jaman gue SD (maybe it's around 10 years ago). Gue juga kena penyakit yang sama, dan FYI, gue dulu pas SD paling nggak pernah sakit sampe absen sekolah, frekuensinya setahun sekali dan pasti gue sowan ke rumah sakit, ketemu dokter langganan yang super sabar, plus suster yang super ramah, plus makanan kantin rumah sakit apalagi nasi timnya duh.

Nah, pokoknya di antara sekian banyak waktu gue sakit, waktu itu gue dalam kondisi sakit dan pulang dari suatu tempat, gue lupa dari mana, dan itu pas pulang gue pake bajaj. He understood that I was sick, then he told my mother something. Percaya atau nggak, si abang itu ngerekomendasiin obat Cina, yang sebenernya diproduksi oleh produsen lokal sih. Namanya Ma Poh, sejenis obat bubuk yang rasanya nggak enak banget, tapi jauh lebih mending daripada obat puyer RS Hermina yang pahitnya bener-bener kimiawi banget, duh. Cara pakenya simpel, tuang bubuknya secukupnya di sendok makan, tambahin air sedikit, aduk biar nyampur sama airnya, pakai, daaan selesai. This is how it looks.


(Sumber gambar: https://ecs7.tokopedia.net/img/product-1/2016/3/5/2853068/2853068_ac746e5f-6628-46f0-b8eb-5e429a4d065f.jpg)

Karena cerita driver tadi, gue jadi keingetan cerita ini. Gue ngerasa gue sangat berhutang, I'm deeply indebted, dengan abang bajaj yang ngerekomendasiin obat itu. Sampai sekarang gue pake kok, it still works very well for me. To pay off my debt, gue bayar trip gue sampe rumah dengan sejumlah uang di atas price yang tertera di aplikasi. Gue benar-benar berharap bahwa uang yang gue berikan bisa membantu si anak driver tadi untuk sembuh (but it's a pity that I totally forgot to recommend this medicine, stupid me). 

Terimakasih tampek, you have created a more grateful version of me :)

Love,

99WRITES

You Might Also Like

0 comments